JAYAPURA - Lambatnya tindakan nyata pemerintah Indonesia terhadap berbagai rekomendasi
PBB dan laporan HAM terkait West Papua, membuat tujuh negara-negara Pasifik
desak PBB tangani situasi West Papua secara menyeluruh melalui laporan terpadu
terkait situasi sebenarnya di West Papua.
Tujuh negara yang
tergabung dalam Koalisi Kepulauan Pasifik untuk West Papua (PCWP) itu, diwakili
Vanuatu, kali ini menegaskan desakannya kepada Presiden Dewan HAM dihadapan
Sidang ke-34 Dewan HAM PBB, Rabu (1/3/2017) di Jenewa, Swiss.
Mewakili Tonga, Nauru,
Palau, Tuvalu, Kepulauan Marshall, dan Kepulauan Solomon,Hon Ronald Kay Warsal,
Menteri Kehakiman dan Pembangunan Komunitas Vanuatu, meminta Dewan HAM PBB
memerintahkan Komisioner Tinggi HAM PBB agar membuat laporan terkonsolidasi
terkait situasi sebenarnya West Papua.
“Tuan Presiden,
mencermati berbagai pelanggaran (HAM) dan lambatnya tindakan pemerintah
Indonesia, kami serukan kepada Dewan HAM PBB untuk meminta Komisioner Tinggi
HAM membuat laporan terpadu atas situasi aktual di West Papua,” ujar Warsal.
Pasalnya, lanjut
Warsal, beberapa pernyataan baru-baru ini dari pemegang mandat Dewan HAM PBB
terkait pelanggaran HAM serius yang dilakukan Indonesia terhadap masyarakat
asli Papua, tidak kunjung mendapat respon tindak lanjut dari Pemerintah
Indonesia.
Pemegang mandat yang
dimaksud adalah Pelapor Khusus PBB untuk promosi dan perlindungan hak kebebasan
berpendapat dan berekspresi; Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berkumpul dan
berorganisasi; Pelapor Khusus PBB untuk hak-hak masyarakat adat; Pelapor Khusus
PBB untuk eksekusi sewenang-wenang dan diluar hukum; serta Pelapor Khusus PBB
untuk penyiksaan dan berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya.
“Kami juga meminta PBB
menaruh perhatian pada pelanggaran HAM negara Indonesia lainnya di West Papua,
termasuk komunikasi dari Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial
(CERD), yang merujuk pada pembunuhan dan penangkapan orang-orang Papua,” ujar
Warsal.
PCWP juga menuntut
perhatian Dewan HAM PBB terhadap sejumlah laporan lengkap terkait eksekusi
aktivis dan penangkapan di luar hukum, pemukulan dan penembakan mematikan
terhadap aksi-aksi damai, termasuk pelajar.
Situasi kekerasan
terhadap perempuan Papua juga menjadi bagian yang dituntut PCWP untuk
diperhatikan PBB.
Tahun lalu 7 negara
Pasifik yang tergabung dalam PCWP ini juga angkat bicara terkait isu West Papua
di Sidang Tahunan Majelis Umum PBB.
Sesalkan pemerintah Indonesia
Warsal secara khusus
memberikan catatan negative terhadap kinerja pemerintah Indonesia dalam
penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di West Papua. Secara khusus
mereka menekankan pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia di tiga
wilayah West Papua: Wasior, Wamena dan Paniai yang sudah mendapat rekomendasi
jelas dari KOMNAS HAM.
“Seharusnya sudah bisa
dihukum menurut hukum Indonesia dan internasional,” tegas Warsal.
Pernyataan yang
ditunggu-tunggu cukup banyak pendukung kemerdekaan Papua pengguna media sosial
ini juga menggarisbawahi aspek pelanggaran HAM lainnya oleh pemerintah
Indonesia yang menurut mereka telah terjadi puluhan tahun namun dibiarkan
sampai saat ini, yaitu migrasi.
“Migrasi dari
orang-orang non Papua ke West Papua telah mengarah pada penurunan dramatis
prosentase populasi masyarakat asli Papua.”
Pemerintah Indonesia,
menurut PCWP, hingga saat ini tidak dapat mengurangi atau menghentikan
pelanggaran HAM yang beragam dan meluas tersebut. “Tidak ada tindakan segera
yang dilakukan pemerintah untuk memberi keadilan pada korban, apalagi yang
bertanggung jawba dan transparan.”
Mereka juga
mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia sampai saat ini tidak mengumpulkan
laporan periodic HAM yang menjadi norma internasional bagi seluruh anggota PBB.
Desakan terpadu
Kali ini PCWP meminta
perhatian Dewan HAM PBB lebih menyeluruh, terpadu atau tidak parsial terhadap
situasi pelanggaran HAM di Papua dengan memperhatikan seluruh prosedur dan
perjanjian internasional yang relevan.
“Laporan Komisioner
Tinggi harus memperhatikan informasi dari Perjanjian yang ada, Prosedur Khusus,
dan Universal Periodic Review, termasuk laporan dari organisasi-organisasi
regional dan internasional serta organisasi non-pemerintah, termasuk semua
peraturan Internasional menyangkut HAM, konvensi-konvensi terkait, serta hak
penentuan nasib sendiri,” tegas Warsal.
Mereka berharap laporan
itu juga akan membuat rekomendasi tindakan untuk menghentikan pelanggaran HAM
di Papua, serta akses penuh semua orang di West Papua yang diperlukan untuk
pembuatan laporan terpadu tersebut.
“Tuan Presiden, sebagai
penutup saya percaya bahwa tantangan-tantangan terkait West Papua harus
dikembalikan menjadi agenda Perserikatan Bangsa Bangsa,” tegas Warsal di
penghujung pidatonya.
Respon Koalisi Internasional untuk Papua
Sebelumnya, Koalisi
Internasional untuk Papua (ICP) telah meminta Indonesia untuk membuka akses ke Papua
Barat bagi wartawan internasional, pengamat independen, organisasi hak asasi
manusia dan Palang Merah Internasional (ICRC).
ICP yang didukung Dewan
Gereja Dunia (WCC)pada 22 Februari lalu di Pusat Ekumenis di Jenewa mendesak
agar Indonesia mengakhiri kekerasan dan impunitas yang berlangsung di Papua.
Peter Prove, direktur
Komisi Urusan Internasional WCC dari Gereja Urusan Internasional (UCLA)
mengutip kata-kata Sekjen WCC, Rev. Dr Olav Fykse Tveit, yang mengunjungi Papua
Barat pada tahun 2012, mengatakan bahwa ia sepenuhnya mendukung pernyataanRev.
Dr Olav Fykse Tveit setelah kunjungan.
“Kami mendukung
perjuangan hak asasi manusia rakyat Papua. Kami mendesak diakhirinya kekerasan
yang sedang berlangsung dan impunitas. Selain itu, kami mendukung penegakkan
keadilan sosial dan ekonomi melalui dialog serius dan proses politik yang
konkrit yang berupaya mengatasi akar penyebab masalah ini,” kata Tveit, yang
dikutip Peter Prove.
Dalam kesempatan yang
sama, Rev. Francois Pihaate, sekretaris jenderal Konferensi Gereja-gereja
Pasifik yang berbasis di Fiji, mengatakan gereja-gereja di wilayah tersebut
sangat prihatin tentang kekerasan di Papua.
“Bagaimana kita sebagai
gereja bisa tahu tentang apa yang terjadi di luar dunia kita sendiri? Itulah
mengapa sebagai gereja, kita juga harus peduli terhadap apa yang terjadi di Papua
Barat. Papua Barat itu bagian dari masyarakat Pasifik, sehingga komunitas
Pasifik seharusnya menunjukkan solidaritas dan aksi,” kata Pihaate.
Denny Abdi, anggota
misi Indonesia untuk PBB di Jenewa membantah data-data yang dipaparkan oleh
ICP, yang menyebutkan hampir lima ribu orang ditangkap pada tahun 2016.
Namun dijelaskan oleh
Veronica Koman, aktivis Papua Itu Kita dan pengacara publik, bahwa data-data
itu berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Penangkapan bukan hanya terjadi
di Jayapura saja, tapi juga di Sentani, Merauke, Manokwari, Sorong, Kaimana,
Menado, Timika dan Jawa.(HEVBY CONOM)
No comments:
Post a Comment